loading...

Pewaris dan Ahli Waris, apa yang harus disiapkan ?


Kepada Yth,

Dengan hormat,
Saya berusia 52 tahun keturunan Batak, beristerikan putri sulung (48 tahun) dari 7 bersaudara yang dua diantaranya yakni anak ke-3 dan ke-5 adalah lelaki.

Semua saudara isteri saya telah berkeluarga, yang juga dengan orang Batak kecuali Adik ipar lelaki yang nomor-3 menikah dengan keturunan India. Ibu mertua saya meninggal pada tahun 2007 dan dimakamkan di tanah Batak.

Mertua lelaki saya (79 tahun)/pensiunan PNS, sampai saat ini masih sehat memiliki 2 rumah besar dimana rumah pertama ditempati oleh anak lelakinya yang pertama (anak ke-3) sedangkan rumah yang kedua ditempati bersama oleh mertua saya, keluarga anak lelakinya yang kedua (anak ke-5) dan keluarga saya.

Sebagaimana lajimnya dalam tradisi Batak, mertua saya sangatlah berharap bahwa kedua anak lelakinya menjadi pewaris sekaligus penerus marganya apalagi beliau adalah pendiri dan pemuka adat dari marganya sejak tahun 1960-an.

Tapi apa yang menjadi harapan mertua saya selama lebih dari 15 tahun ternyata kandas, karena tidak bisa dipenuhi oleh kedua ipar saya yang kelahiran Jakarta, apalagi oleh ipar saya yang terbesar yang menikah dengan keturunan India (meskipun telah dinobatkan secara adat menjadi puteri Batak).

Yang menghibur mertua saya justeru keluarga dari ke-5 puterinya jauh lebih interest terhadap tradisi Batak termasuk dalam hal memelihara tatakrama yang patut dalam hubungan anak, orang tua dan sesame sanak saudara.

Sebaliknya semakin banyak perilaku yang tidak wajar yang diperlihatkan oleh isteri ipar saya yang keturunan India. Tidak mau dan tidak diketahui asal usul sanak familinya, tidak mengurus suami apalagi anak (4 lelaki), bertengkar suami isteri, suami yang mengurus anak, keuangan terpisah, keluyuran siang pulang malam, berpakaian seronok ini merupakan peristiwa yang dipertentangkan setiap hari oleh mertua terhadap keluarga ipar saya.

Dalam situasi ini maka pembelaan paling gigih terhadap mertua saya dilakukan oleh isteri saya sebagai puteri sulung. Sejak tahun 2005, ketika mendiang ibu mertua saya dalam keadaan sakit parah memang mertua saya memanggil isteri saya untuk tinggal bersama mereka mengurus kehidupan keseharian. Namun pembelaan isteri saya ini ternyata telah menjadi awal sengketa hebat diantara sesama saudara, yang dari hari ke hari semakin sering terjadi bahkan menjurus pada penganiayaan berbahaya terhadap isteri saya (diantaranya kali yang ke-4 terjadi pada Januari 2009 lalu dan telah kami laporkan ke Polres Jakarta Timur namun setelah visum RSCM kami batalkan karena tidak tega untuk memprosesnya).

Khawatir terhadap kenyataan bahwa dalam masa hidupnya saja pertikaian bersaudara ini telah menjurus pada perang saudara, maka mertua saya berniat agar dalam sisa hidup beliau bisa melikuidasi semua hartanya dan membagikannya secara proporsional kepada:

(1) ke-7 keturunannya,
(2) ke-5 cucu dalamnya (jumlah cucu 14 orang) dan
(3) termasuk ongkos untuk penguburannya ketanah Batak bila saatnya tiba.

Dan untuk itu setelah melalui konsultasi dengan Notaris kemudian beliau meminta kuasa waris kepada ke-7 anaknya, namun hanya 2 keluarga yang menyetujui (isteri saya + seorang adik perempuannya yang sependirian) sedangkan 5 diantaranya menolak untuk tandatangan (bahkan merobek naskah surat kuasa), padahal dalam rapat keluarga semua menyetujui menyerahkan kewenangan atas harta warisan kepada beliau.

Melalui berbagai diskusi saya dengan beliau selama ini, saya dapat menyimpulkan beberapa keinginan beliau yang antara lain adalah sbb.:

1.Beliau tidak berkeinginan menerapkan hukum adat batak dalam hal penyelesaian masalah warisannya kelak.
2.Beliau berkeinginan bahwa perkara penyelesaiaan warisan ini diselesaikan secara hukum perdata artinya tidak ada perbedaan hak antara anak lelaki maupun perempuan.
3.Beliau juga berkehendak ada bagian warisan terhadap ke-5 cucu dalamnya yang tidak boleh diutak-atik siapapun termasuk orang tua kandungnya dan hanya bisa dicairkan setelah lulus SLTA. (hal ini berkenan dengan kesangsian beliau akan kelanggengan rumah tangga ipar lelaki terbesar dikelak kemudian hari).
4.Beliau juga mengeluh bahwa hal ini menjadi sulit direalisasikan karena assetnya adalah harta tak bergerak(2 unit rumah & tanah) yang selain harus dijual dulu juga belum tentu disetujui, terlebih kedua rumah tersebut saat ini dikuasai/dihuni oleh kedua anaknya.
5.Adanya gejala ipar saya untuk bertahan menduduki kedua rumah tersebut secara permanent dengan dalih bahwa hak warisan secara huikum batak adalah pada anak lelaki terlebih rumah tersebut saat ini memang dipakai sebagai lahan usaha.

Dengan berdasarkan uraian tersebut diatas maka saya dengan ini meminta bantuan advis hukum dari Anda atas hal-hal sbb.:

1.Mungkinkah keinginan dari mertua saya bisa diwujudkan dan bagaimana prosesnya ?
2.Apakah yang harus disiapkan oleh beliau sehingga apabila terjadi sesuatu terhadap beliau secara mendadak, keinginannya tetap dapat terwujud ?
3.Apakah yang harus disiapkan oleh isteri saya dan salah seorang adik perempuannya yang sependirian untuk menjamin haknya sebagai ahli waris yang sah.

Demikianlah surat ini saya sampaikan, dan atas bantuannya saya ucapkan terima kasih banyak.
Hormat Saya

Haru


JAWAB :

Terima kasih telah menghubungi saya ... berikut jawaban saya :

1) Keinginan mertua Anda sebagai pewaris dapat saja diwujudkan melalui surat wasiat. Surat wasiat atau yang lebih dikenal akta wasiat diatur dalam Pasal 875 KUHPerdata yang menyatakan, Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya. Didalam surat/ akta wasiatnya tersebut, mertua anda dapat menetapkan hal-hal apa yang seharusnya dilakukan oleh ahli waris dan menetapkan bagian masing-masing ahli waris berikut tentang hak cucu atas harta peninggalannya.

Untuk membuat surat atau akta wasiat, mertua Anda harus dalam keadaan sehat walfiat, tidak dalam keadaan tertekan atau paksaan dari pihak manapun. Pasal 931 KUHPerdata menegaskan bahwa Surat wasiat hanya boleh dibuat, dengan akta olografis atau ditulis tangan sendiri, dengan akta umum atau dengan akta rahasia atau akta tertutup.

Surat/ akta Wasiat tersebut harus dititipkan oleh pewaris kepada Notaris untuk disimpan. Dibantu oleh dua orang saksi, Notaris itu wajib langsung membuat akta penitipan, yang harus ditandatangani olehnya, oleh pewaris dan oleh para saksi, dan akta itu harus ditulis dibagian bawah wasiat itu. Bila wasiat itu diserahkan secara terbuka, atau di kertas tersendiri bila itu disampaikan kepadanya dengan disegel; dalam hal terakhir ini, di hadapan Notaris dan para saksi, pewaris harus membubuhkan di atas sampul itu sebuah catatan dengan tanda tangan yang menyatakan bahwa sampul itu berisi surat wasiatnya.

Dalam hal pewaris tidak dapat menandatangani sampul wasiat itu atau akta penitipannya, atau kedua duanya, karena suatu halangan yang timbul setelah penandatangan wasiat atau sampulnya, notaris harus membubuhkan keterangan tentang hal itu dan sebab halangan itu pada sampul atau akta tersebut.

Kelak notaris yang bersangkutan harus melaporkan surat/ akta wasiat tersebut kepada ke Departemen Hukum dan HAM, khususnya di Sub Direktorat Balai Peninggalan dalam waktu sebulan kemudian setelah akta wasiat dibuat.

2) Lihat jawaban no. 1 di atas, yang harus disiapkan tentunya surat/ akta wasiat tersebut.

3) Sebagai ahli waris, istri dan saudara-saudaranya yang lain harus memiliki Surat Keterangan Wasiat. Adapun cara mendapatkan Surat Keterangan Wasiat (SKW), yaitu mengajukan permohonan ke Depkumham selaku pusat data wasiat. Bagi yang mengajukan harus melengkapi permohonan dilampirkan fotocopy akta kematian atas nama pemilik wasiat, Surat Keterangan Kematian (SKK) dari Kelurahan, KTP, KK, Surat Kelahiran dan Akta Nikah.

Komentar

Postingan Populer