loading...

Saya dianggap bodoh karna ingin perjanjian pranikah

Yth  NM Wahyu Kuncoro SH
 
saya baru saja beli dan baca buku Anda "Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga".
 
Saya wanita single anak sulung 3 bersodara, Kristen, dari suku Indonesia Timur (patrilineal) yg kebetulan berasal dari keluarga mampu. Akibatnya, dulu beberapa kali saya ditipu laki2 yg pura2 cinta saya namun motivasinya adalah untuk pinjam uang tanpa mengembalikan.
 
Saya mengatakan pada orangtua saya bahwa kalo saya mendapat cowok baru, sebaiknya saya membuat perjanjian pranikah utk melindungi warisan org tua dari pasangan yg berniat merampasnya. Tapi kata orgtua saya, itu tdk ada gunanya/tdk kuat. Kata mereka carilah suami yg baik. Saya tak percaya, krn org baik pun suatu saat bisa berubah, berhutang dll. Makanya saya bersikeras, perjanjian pranikah itu penting.
 
Pertanyaan saya:

1. Jika memang saya dilarang membuat perjanjian pranikah, adakah cara lain agar kalo saya nikah dan cerai, uang dan harta dari ortu aman? saya berpikir utk memberikan semua itu pada adik laki2 (1 org), menjadi atas nama dia. adik yg satunya (laki) cacat mental, IQ nya 40, jadi dia tdk bisa diandalkan. Apakah deposito hasil kerja keras saya, bunganya dan tabungan gaji saya harus saya bagi dengan mantan suami? Gimana cara menghindarinya?
 
2. dengan kondisi saya dilarang membuat perjanjian pranikah, jika saya nikah lalu meninggal, bagaimana caranya agar uang gaji saya, deposito hasil kerja keras saya, bunganya, uang dan harta warisan/dari org tua tdk jatuh ke tangan suami?
 
3. Apakah jika tdk ada perjanjian pranikah maka jika suami berhutang dan tdk sanggup membayar, istri juga kena getahnya (harus melunasinya)? adakah cara lainnya yg  tanpa perjanjian pranikah tetap bisa mencegah ini?
 
Maaf bukan saya curiga terus pd laki2. Tapi ngga rela jika membayangkan semua itu jatuh ke tangan wanita simpanannya/istri barunya setelah saya cerai/ meninggal.
 
Terimakasih atas jawaban Anda.
 

JAWAB :

Terima kasih telah menghubungi saya dan terima kasih juga telah membeli buku saya ....

1) Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan, tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata, ditegaskan, bahwasanya yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: 

1. anak yang belum dewasa; 
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan; 
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.  

Jadi, berdasarkan ketentuan Pasal 1329 - Pasal 1330 KUHPerdata di atas, selama Anda tidak tergolong sebagai subjek hukum Pasal 1330 KUHPerdata, TIDAK ADA SATUPUN ORANG YANG DAPAT MELARANG ANDA UNTUK MEMBUAT PERJANJIAN PRANIKAH.  

Jika Anda ingin mengamankan hak-hak Anda atas harta benda yang Anda miliki atau Anda peroleh sebelum perkawinan, Pada prinsipnya, TIDAK ADA CARA LAIN SELAIN MEMBUAT PERJANJIAN PRANIKAH. Namun demikian, dalam perkawinannya, hukum tetap memberikan kesempatan bagi suami - isteri untuk melakukan pemisahan harta benda perkawinan dengan syarat dan prosedur sebagaimana diatur Pasal 186 KUHPerdata yang mengatur sebagai berikut : 

"Selama perkawinan, si isteri boleh mengajukan tuntutan akan pemisahan harta benda kepada Hakim, tetapi hanya dalam hal-hal:  

1. bila suami, dengan kelakuan buruk memboroskan barang-barang dan gabungan harta bersama, dan membiarkan rumah tangga terancam bahaya kehancuran. 

2. bila karena kekacaubalauan dan keburukan pengurusan harta kekayaan si suami, jaminan untuk harta perkawinan isteri serta untuk apa yang menurut hukum menjadi hak isteri akan hilang, atau jika karena kelalaian besar dalam pengurusan harta perkawinan si isteri, harta itu berada dalam keadaan bahaya. 

Pemisahan harta benda yang dilakukan hanya atas persetujuan bersama adalah batal". 

Dalam pengajuan tuntutan pemisahan harta benda dalam perkawinan, ketentuan Pasal 187 jo. Pasal 189 KUHPerdata mensyaratkan harus diumumkan secara terbuka. Artinya, tuntutan berikut penetapan Pengadilan nanti harus diberitahukan kepada orang/ pihak lain yang memiliki kaitan dengan harta benda perkawinan dimaksud. 

Konsekuensi hukum adanya tuntutan pemisahan harta benda perkawinan, berdasarkan ketentuan Pasal 188 jo. Pasal 192 KUHPerdata adalah orang yang berpiutang kepada si suami dapat ikut campur dalam penyidangan perkara untuk menentang tuntutan akan pemisahan harta benda itu. Bahkan bila perlu, dengan alasan haknya dirugikan, dapat menggugat suami isteri tersebut  

Konsekuensi yang lain, berdasarkan ketentuan Pasal 193 KUHPerdata, meskipun ada pemisahan harta benda, si isteri wajib memberi sokongan untuk biaya rumah tangga dan pendidikan anak-anak yang dilahirkan olehnya karena perkawinan dengan si suami, menurut perbandingan antara harta si isteri dan harta si suami. Bila si suami ada dalam keadaan tidak mampu, biaya-biaya itu menjadi tanggungan si isteri saja.  

Jadi, dihitung dari konsekuensi yang kelak timbul, secara hukum masih tetap lebih baik Anda melakukan/ membuat perjanjian pranikah karena lebih menjamin hak-hak Anda secara hukum.

Perlu diketahui, tujuan utama perjanjian pranikah adalah melindungi hak-hak Anda secara hukum untuk tetap memiliki hak-hak atas aset-aset maupun harta yang dibawa sebelum, selama dan setelah putusnya pernikahan, mengingat dalam perkawinan pada dasarnya secara hukum terjadi percampuran harta antara suami - isteri. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan : 
 
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. 

Anda, dan pastinya semua orang tidak ingin terjadi perceraian namun demikian tidak ada yang dapat memastikan langgeng tidaknya perjalanan perkawinan. Meskipun ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 pada pokonya menyatakan hadiah atau warisan yang diperoleh suami - isteri terpisah dari harta bersama, dalam prakteknya membutuhkan proses hukum yang berbelit-belit karena Anda harus mampu membuktikan secara hukum bahwasanya benar harta tersebut diperoleh dari hadiah atau warisan.  

Kelak, tanpa adanya perjanjian pranikah atau penetapan Pengadilan tentang pemisahan harta benda perkawinan, deposito hasil kerja keras Anda berikut bunganya serta tabungan gaji Anda terhitung sebagai sebagai harta bersama dalam perkawinan. Artinya, secara hukum Anda diwajibkan untuk membaginya dengan mantan suami. Hal ini sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, "bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing".  

Jadi, sekali lagi ditegaskan, jika benar ingin ada jaminan atas hak-hak hukum dan finansial dalam perkawinan, sebaiknya Anda membuat perjanjian pranikah. 

Kembali pada uraian yang Anda sampaikan, dimana Anda berpikir untuk memberikan semua harta yang Anda miliki pada adik laki-laki dan kemudian mengatasnamakannya atas nama dia, sebaiknya Anda pertimbangkan kembali secara matang karena dengan mengatasnamakan harta benda yang sebelumnya telah Anda miliki kepada orang lain (meskipun itu ada adik kandung Anda), secara hukum Anda telah melepas hak kepemilikan atas harta benda dimaksud. Hal ini sebagaimana ditegaskan ketentuan Pasal 584 KUHPerdata : 

"Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan : 

- pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan 
- dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu"

Jika telah melepaskan hak kepemilikan atas harta benda, tentunya Anda tidak dapat memintanya kembali, terkecuali Adik Anda mau menyerahkannya kembali pada Anda. (Mungkinkah ? hanya Tuhan yang bisa menjawabnya).   



2) Sama seperti uraian jawaban di no. 1. TIDAK ADA JAMINAN HUKUM, HARTA BENDA ANDA TIDAK JATUH KE TANGAN SUAMI. Sesuai dengan hukumnya, harta tersebut merupakan harta bersama dalam perkawinan yang harus terlebih dahulu dibagi dua dengan suami. Setelah suami mengambil bagian dari harta bersama, maka sisanya akan dihitung sebagai harta peninggalan yang kemudian dibagikan kepada orang-orang yang tergolong sebagai ahli waris Anda. 

3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan TIDAK mengatur lebih lanjut tentang definisi harta bersama dalam perkawinan. Definisi harta bersama secara hukum dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 119 - 122 Buku I KUHPerdata yang menegaskan sebagai berikut : 

"Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antarà suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri.
 
Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barangbarang tak bergerak suami isteri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas.  

Berkenaan dengan beban-beban, maka harta bersama itu meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masig suami isteri, baik sebelum perkawinan mupun setelah perkawinan maupun selama perkawinan.  

Semua penghasilan dan pendapatan, begitu pula semua keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian yang diperoleh selama perkawinan, juga menjadi keuntungan dan kerugian harta bersama itu"  

Berdasarkan ketentuan Pasal 119 - 122 KUHPerdata, maka utang yang dibuat suami tetap menjadi beban Anda pula, meskipun Anda tidak membuatnya atau tidak mengetahui peristiwa timbulnya hutang piutang tersebut. 

Tanpa perjanjian pranikah, jika Anda sebagai isteri ingin terlepas dari hutang yang dibuat suami, hukum mensyaratkan Anda sebagai isteri harus melepas hak Anda atas harta bersama. Hal ini sebagaimana ditegaskan Pasal 132 KUHPerdata yang menyatakan, "Isteri berhak melepaskan haknya atas harta bersama; segala perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini batal; sekali melepaskan haknya, dia tidak boleh menuntut kembali apa pun dari harta bersama, kecuali kain seprai dan pakaian pribadinya. Dengan pelepasan ini dia dibebaskan dan kewajiban untuk ikut membayar utang-utang harta bersama. Tanpa mengurangi hak para kreditur atas harta bersama, si isteri tetap wajib untuk melunasi utang-utang yang dari pihaknya telah jatuh ke dalam harta bersama; hal ini tidak mengurangi haknya untuk minta penggantian seluruhnya kepada suaminya atau ahli warisnya"

Dalam praktek, pelepasan hak atas harta bersama harus dilakukan melalui akta pelepasan hak atau berdasarkan penetapan Pengadilan.   

Komentar

Postingan Populer