loading...

Menyikapi Kebijakan Sepihak Perusahaan

Pak Wahyu yang terhormat,

Semoga senantiasa dalam keadaan sehat.

Saya telah bekerja di sebuah perusahaan swasta selama 10 tahun lebih sebagai teknisi mesin (posisi ini tertuang dalam perjanjian kerja saat pertama kali masuk ke perusahaan ini). Selanjutnya pimpinan perusahaan dalam waktu dekat ini akan membuat kebijakan berupa peleburan dua bagian yaitu bagian mesin dan bagian listrik. Konsekuensinya adalah saya diharuskan untuk memiliki role & responsibility selain sebagai teknisi mesin juga sebagai teknisi listrik, akibatnya scope kerja kami semakin besar, tetapi tidak ada adjustment dari sisi benefit yang saya terima. Demikian pula hal ini terjadi untuk rekan2 di bagian listrik yang diharuskan belajar dan memegang tanggung jawab juga di bagian mesin. Hal ini menjadi hal yang sangat tidak nyaman buat kami teknisi. Walaupun sama2 teknik, dua bagian ini (mesin dan listrik) adalah dua hal yang sama sekali berbeda.

Yang menjadi pertanyaan saya adalah:

1. Dari sisi hukum, apakah saya bisa melakukan penolakan terhadap kebijakan perusahaaan tersebut?

2. Kalau perusahaan mengharuskan ini untuk dilaksanakan, apakah kita bisa menuntut untuk dilakukan revisi/amandemen title di perjanjian kerja?
Bagaimana sikap yang harus saya ambil bila kalau perusahaan menolaknya? Apakah ada dasar hukum untuk

3. Jika pilihannya adalah \'take it or leave it\', dan saya memutuskan untuk menolak atau \'leave it\', bisakah saya menuntut permohonan PHK di Pengadilan Industrial. Kalau nantinya saya menolak dan jika perusahaan membatalkan kebijakan tersebut, saya khawatirnya akan menjadi kredit/penilaian negatif oleh perusahaan terhadap saya dan teman2 sehingga kita dibuat tidak nyaman dan tidak kerasan dalam bekerja.
4. Bagaimana sebaiknya cara terbaik saya menyikapinya?

Terima kasih atas petunjuk dan saran dari Bapak.
Salam,


JAWAB : 

Terima kasih telah menghubungi saya ... 

1) Dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dikatakan, penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan terbuka adalah pemberian informasi kepada pencari kerja secara jelas antara lain jenis pekerjaan, besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini diperlukan untuk melindungi pekerja/buruh serta untuk menghindari terjadinya perselisihan setelah tenaga kerja ditempatkan. Sedangkan yang dimaksud dengan obyektif adalah pemberi kerja agar menawarkan pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuannya dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan kepentingan umum dengan tidak memihak kepada kepentingan pihak tertentu. Artinya, jika pada saat diperjanjikan bahwasanya jenis dan lingkup kerja Anda adalah dibidang teknisi mesin, maka sepanjang belum ada perubahan atas perjanjian kerja dimaksud, Anda sebagai pekerja berhak untuk menolak kebijakan tersebut 

2) Pasal 52 ayat (1) huruf a UU No. 13 Tahun 2003 pada pokoknya menegaskan bahwasanya, perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. Artinya, dikaitkan dengan pertanyaan yang diajukan, secara hukum Anda berhak menuntut Perusahaan untuk melakukan revisi atas perjanjian kerja yang ada sebelum ditetapkannya suatu kebijakan yang diaggap merugikan Anda sebagai pekerja.  

3) Sesuai dengan ketentuan Pasal 50 UU No. 13/2003 yang pada pokoknya menegaskan bahwasanya hubungan kerja terjadi karena perjanjian kerja dan perjanjian kerja dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak (Pasal 52). Artinya, dalam mencapai suatu kesepakatan, tidak tertutup kemungkinan terjadi penolakan diantara salah satu pihak dan itu sah-sah saja. Jika perusahaan menolak tuntutan Anda, tentunya anda dapat bersikap dan melakukan upaya mengadukan perselisihan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 136 UU No. 13/2003 : 

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.

(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.

Dalam Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diatur : 

(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.

(3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.

(4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.

(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh.

(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

3) Sesuai dengan penjelasan saya pada No. 2, jika penyelesain tidak dapat dilakukan secara musyawarah, baik secara bipartit atau dengan mediasi konsiliasi atau arbitrase, tentunya Anda berhak mengajukan permasalahan di atas ke Pengadilan Industrial. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur dalam  Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2004 : 

"Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial"

4) Saran saya, pergunakan hak Anda sebagaimana mestinya dan upayakan selalu dengan cara musyawarah. 

Komentar

Postingan Populer