Hak Asuh & Status anak
Bapak yang terhormat
Selamat pagi,
Kami memiliki seorang anak laki laki yang telah menikah dan mempunyai seorang anak perempuan. Pernikahan anak kami tersebut baru dilaksanakan +/- 2 ( dua ) bulan setelah anak mereka lahir (anak diluar nikah) kami baru mengetahui anak tersebut akan lahir pada malam sebelum melahirkan, sedangkan orang tua pihak perempuan pada hari tersebut berangkat ke Palangkaraya untuk menikahkan anak laki lakinya (kakak dari istri anak saya) selama sebulan dan untuk tidak mengganggu acara mereka kami memutuskan menunggu kembalinya mereka untuk menceritakan kejadiannya sekaligus melakukan lamaran dan merencanakan pernikahan anak kami.
Setelah dilakukan pertemuan kami setuju segala sesuatunya kami yang mengurus (surat surat dari RT s/d KUA ) serta pernikahan dilangsungkan dirumah kami dengan hanya dihadiri keluarga dekat dari kedua belah pihak.
Pada saat pernikahan dilangsungkan, anak laki laki kami baru berumur 18 tahun, sedangkan istrinya berumur 19 tahun (keduanya satu angkatan/ satu sekolah semasa SMP), keduanya pada waktu itu masih berstatus mahasiswa, yang pada akhirnya harus mereka lepaskan status kemahasiswaannya kemudian anak laki laki saya mencoba bekerja.
Demi menjaga nama baik pihak keluarga (orang tua) perempuan agar terhindar dari Aib serta membantu anak laki laki kami yang belum siap sepenuhnya untuk bertanggung jawab, maka kamilah yang menampung & mengurus mereka dan kami sebagai orang tua pihak laki laki, mengharapkan mereka (terutama anak laki laki kami) untuk kembali melanjutkan kuliah setidaknya untuk bekal masa depan mereka, khususnya laki laki yang harus menafkahi keluarga.
Satu tahun lebih berlalu, sementara menunggu tahun ajaran/ perkuliahan baru, anak kami yang telah berhenti dari pekerjaannya (hanya dilakoni sekitar 8 bulan) mengisi kegiatannya dengan sesekali memberikan service computer ataupun merakit computer jika ada permintaan, untuk sekedar uang jajan mereka sementara segala kebutuhan primer mereka menjadi tanggungan kami, hingga minggu lalu, hari Jumat tgl 19 Juni 2009, menantu kami dijemput salah satu saudaranya dan berpamitan kepada kami untuk menginap dirumah orang tuanya, pada waktu saya tanya menantu saya bilang akan pulang besok harinya, kamipun percaya karena selama ini tidak ada masalah dan bekal yang dibaewa pun hanya 1 - 2 setelan anak mereka serta susu seperlunya.
Keesokan paginya anak saya (suaminya) mendapatkan SMS dari istrinya bahwa dia pergi ke Palangkaraya, kerumah kakak laki lakinya. Di Palangkaraya, kakak laki lakinya berusaha dibidang computer dan sudah menunjukkan keberhasilan. Beberapa bulan sebelumnya, pernah ada permintaan dari pihak keluarga mereka (terutama bapak dan kakak laki lakinya) agar mereka tinggal di Palangkaraya dengan akan memberikan pekerjaan bagi anak saya (dengan membuka cabang dari usaha kakaknya) serta mengkontrakkan rumah bagi mereka, sehingga selain anak saya berpenghasilan tetap, usaha kakak istrinya akan merasa terbantu.
Kami sebagai orang tua pihak laki laki berpendapat bahwa kami tidak dapat memaksakan kehendak selain daripada memberi saran maupun nasihat, tetapi untuk memutuskan kami serahkan sepenuhnya kepada anak saya yang bagaimanapun sudah memiliki rumah tangga sendiri.
Pada kontak berikutnya, istrinya kembali meminta anak kami untuk datang dan membicarakan masalah masa depan rumah tangga mereka dihadapan kakaknya di Palangkaraya, hal ini ditolak oleh anak kami. Karena memang niatnya untuk mulai kuliah lagi dan merasa bisa disambi dengan bekerja disini, anak saya tidak bersedia untuk pergi dan menetap serta berusaha di Palangkaraya.
Sama halnya sekarang ini, setelah tiga hari dari keberangkatan istrinya ke Palangkaraya, anak kami menemui mertuanya dan menceriterakan kondisi yang sebenarnya serta pendirian dia bahwa dia tidak setuju untuk menetap di Palangkaraya sesuai keinginan pihak istri serta keluarga besarnya. Begitupun untuk membicarakan masalah masa depan keluarga mereka, anak kami berpendapat itu adalah urusan mereka berdua, kalaupun harus ada pihak ketiga, maka anak kami hanya setuju untuk membicarakannya dihadapan orang tuanya serta kami. Di satu hal, pihak keluarga istripun sudah mengetahui bahwa sejak mereka masih pacaran, antara anak kami dengan kakak istrinya tersebut terdapat ketidak cocokan paham.
Di akhir pertemuannya dengan mertuanya, anak kami berpesan bahwa dia akan pergi ke Bandung untuk daftar & mengikuti tes masuk perkuliahan, serta akan melanjutkan kuliah dan tinggal di Bandung dan apabila istrinya pulang dan merasa malu/ keberatan untuk kembali tinggal dengan kami, serta tidak mau mengikutinya tinggal di Bandung, maka dipersilahkan kalau mau tinggal dengan orang tuanya untuk sementara.
Sehari setelah pertemuan dengan mertuanya, anak kami kembali mengontak istrinya serta menegaskan pendiriannya serta meminta untuk segera pulang. Atas permintaan anak kami tersebut, istrinya menolak dan bahkan memberikan ultimatum bahwa dia baru akan pulang apabila anak kami sudah punya tempat tinggal sendiri serta berpenghasilan tetap. Padahal dua minggu sebelumnya anak kami sudah menyampaikan kepada kami bahwa mereka akan mulai kuliah kembali pada tahun ajaran sekarang ini.
Pada akhirnya, setelah anak kami mempertimbangkan satu dan lain hal, dua hari yang lalu anak kami memutuskan untuk pergi ke Bandung dan mendaftarkan diri mengikuti test masuk salah satu perguruan tinggi disana, daripada menyusul istrinya ke Palangkaraya.
Dari kronologis tersebut diatas, ada beberapa hal yang kami harapkan kesediaan bapak untuk membantu menjawab beberapa pertanyaan kami berikut ini :
1. Apabila mereka berdua masing masing berkeras pada pendiriannya, bagaimana status pernikahan mereka nantinya ?
2. Apakah dibenarkan / disalahkan secara hukum, apabila pada akhirnya anak kami memaksa pulang istri dan anaknya ?
3. Adakah hak pihak lain (orang tua maupun saudara istrinya) untuk mencegah serta menghalangi ?
4. Apabila hal terburuk yang tidak kami harapkan, terjadi juga : pernikahan mereka berakhir dengan perceraian, siapakah yang paling ber hak mengurus anak mereka ? (untuk diketahui sampai dengan saat ini anak yang tidak berdosa tersebut masih belum memiliki akte kelahiran/ surat kenal lahir)
5. Apakah kami sebagai orang tua pihak laki laki yang mengurus mereka serta anak mereka sejak kelahirannya, punya hak untuk mengurus & membesarkan anak mereka ? dapatkah kami menuntut hal itu ? Kamipun tahu, sebagai orang muslim bahwa anak yang lahir diluar nikah (atau kurang dari 6 bulan semenjak pernikahannya) maka tidak ada hak nasab bagi si laki laki dan anak tersebut dianggap "anak tidak berbapak"
Adanya kedekatan antara keluarga kami dengan anak tersebut secara bathin,karena kami sudah anggap sebagai anak sendiri bukan hanya seorang cucu. Apalagi sang ibu (menantu kami) tidak pernah menyusui anaknya semenjak lahir, kami sangat berharap untuk bisa mendapatkan hak asuh atas anak mereka, kalau mungkin dengan mengadopsinya.
Demikian pertanyaan kami, semoga penjelasan yang panjang lebar dan berbelit ini tidak membingungkan bapak, dan atas nasihat serta saran serta petunjuk dan pendapat yang akan bapak berikan, kami sebelumnya menghaturkan banyak terima kasih.
Wassalam,
JAWAB :
1) Perkawinan mereka tetap akan ada, sepanjang belum ada putusan perceraian dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur ketentuan hukum sebagai berikut :
Pasal 39 UU No. 1/1974 :
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam :
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Sehubungan karena perkawinan dilangsungkan secara Islam, maka jawaban saya merujuk pada ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pasal 77 :
(1) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
(2) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lainnya.
(3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
(4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya
(5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 79 :
(1) Suami adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 77 jo. Pasal 79 KHI di atas, jelas adalah hak seorang suami yang dapat dibenarkan secara hukum untuk memaksa pulang istri dan anaknya, sepanjang memaksakan tersebut tidak mengakibatkan penganiayaan fisik. Memaksa, dalam hal ini, suami jg harus mempertimbangkan adanya hak istri untk menolak. Jadi karena suami istri tersebut sama -sama punya hak, tentunya lebih bijaknya salah satu harus mengalah dan berusaha memahami pendapat yang lain.
3) Sesungguhnya tidak ada pihak manapun diluar suami istri yang menjalankan suatu perkawinan, dapat mencegah atau menghalangi suatu keputusan atau tindakan yang diambil suami istri tersebut terkait dengan perkawinannya. Hal ini sejalan dengan pengertian perkawinan yakni sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga). Namun demikian dalam hal tertentu dapat orang tua maupun saudara ikut campur, tentunya hal ini kembali pada si suami istri tersebut untk menyikapi hal-hal tersebut.
4) Pasal 100 KHI menegaskan bahwasanya, Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 105 huruf (a) dan huruf (c) KHI menyatakan, dalam hal terjadi perceraian :
a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Berdasarkan kedua pasal KHI di atas, jelas dalam hal terjadinya perceraian, dalam hal ini yang berwenang dan yang paling berhak adalah ibu dari si anak.
5) Oleh karena masih ada Ibu dan Bapak dari si anak, maka itu tetap menjadi tanggung jawab orang tua dari anak ybs.
Anda, sebagai kakek belum dapat menuntut hak perwalian maupun hak pengasuhan anak selama hak asuh orang tua masih melekat pada si Ibu dan si Bapak dari si anak ybs. Terkecuali berdasarkan penetapan pengadilan kuasa orangtua yang melekat pada mereka dicabut secara hukum, baru anda dapat mengajukan permohonan hak asuh atas anak mereka.
Komentar
Posting Komentar
Berikan tanggapan/ komentar sesuai dengan postingan. Bukan pertanyaan atau yang bersifat konsultasi. Jika Ingin berkonsultasi, baca ketentuan yang ditetapkan