loading...

Mau mengeluarkan Karyawan sesuai Undang-Undang

Saya adalah seorang investor di perusahaan yang akan mengambil alih perusahaan tersebut. Ada satu karyawan yang ingin kami PHK (saya sebut “A”) karena sebelum nya beberapa kali pernah kena kasus pencurian dan telah tertangkap basah.
Akan tetapi, karena kelalaian dan tidak ke professionalan HRD manager kami, “A” tidak di keluarkan dari perusahaan. Dengan berjalan nya waktu, sikap orang ini makin tidak baik. Dia telah memanipulasi kan semua karyawan dan membut mereka menjadi tidak sopan, tidak taat kepada manager dan bergabung dengan serikat di mana mereka melakukan aksi mogok kerja dan pengancaman demo setiap kali ada peraturan baru yang mereka tidak sukai.
Sekarang, semua investor menyarankan untuk mengeluarkan si “A” sesuai dengan peraturan "UU No. 13 tahun 2003 pasal 156 (2) & (3) dan UU No. 13 tahun 2003 ps. 156 (4) Penggantian Hak" karena setiap kali kami mencoba untuk menegosiasi-kan nilai pesangon, perusahaan akan di teriakin dan di datangkan oleh banyak org serikat tersebut. Akhirnya, perusahaan memilih jalan untuk membayarkan sesuai peraturan agar si “A” bisa cepat di keluarkan. Yang saya dengar, peraturan nya adalah min. 2 PMTK untuk mem-PHK karyawan. Apa ini benar?
Jika benar, “A” telah bekerja selama 11th dengan gaji pokok 1.414.163. Apakah benar total yang dia terima harus lebih dari Rp. 42.000.000,- Karena dia sudah merugikan perusahaan sangat banyak, akan tetapi kami tidak mau lagi mempersulit keadaan dan hanya ingin mematuhi peraturan undang-undang yang ada.
Bisa tolong di bantu advice. Saya kurang mempercayai perhitungan HRD saya.
Sekian dan terima kasih.

JAWAB : 
Terima kasih telah menghubungi saya ..... 

Ketentuan Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur : 

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan  dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapatdihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yangbersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Dalam Pasal 2 Keputusan Menaker No. KEP-150/MEN/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan (catatan : Peraturan Ini Masih Berlaku Dengan Tedapat Beberapa Perubahan berdasarkan Keputusan Menteri di Kemudian Hari) juga menegaskan : 

1. Setiap pemutusan hubungan kerja di perusahaan harus mendapatkan ijin dari Panitia Daerah. untuk pemutusan hubungan kerja perorangan dan dari Panitia Pusat untuk pemutusan hubungan kerja massal.

2. Pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja tanpa meminta ijin kepada Panitia Daerah atau Panitia Pusat dalam hal :

a. pekerja dalam masa percobaan kerja;
b. pekerja mengajukan permintaan mengudurkan diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa mengajukan syarat;
c. pekerja telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama;
d. atau berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu;
e. pekarja meninggal dunia.

3. Permohonan ijin pemutusan hubungan kerja tidak dapat diberikan apabila pemutusan hubungan kerja di dasarkan atas :

a. hal-hal yang berhubungan dengan kepengurusan dan atau keanggotaan serikat pekerja yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja atau dalam rangka membentuk serikat pekerja atau melaksanakan tugas-tugas atau fungsi serikat pekerja;
b. di luar jam kerja atau di dalam jam kerja atas ijin tertulis pengusaha atau yang diatur dalam kesepakatan kerja bersama;
c. pengaduan pekerja kepada yang berwajib mengenai tingkah laku Pengusaha yang terbukti melanggar peraturan negara; paham, agama, aliran, suku, golongan atau jenis kelamin.

4. Pemutusan hubungan kerja dilarang :

a. pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus;
b. pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah;
d. karena alasan pekerja menikah, hamil, melahirkan atau gugur kandungan;
e. karena alasan pekerja wanita melaksanakan kewajiban menyusui bayinya yang telah diatur dalam perjanjian kerja alau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama atau peraturan perundang-undangan;
f. pekerja mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam peraluran perusahaan atau kesepakatan kerja bersama;

5. Keadaan sakit terus menerus sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf a meliputi :

a. sakit menahun atau berkepanjangan sehingga tidak dapat menjalankan, pekerjaannya secara terus-menerus;
b. setelah sakit lama kemudian masuk bekerja kembali tetapi tidak lebih dari 4 (empat) minggu kemudian sakit kembali.

Lalu, PHK karyawan yang diperkenankan oleh undang-undang ? 

Pasal 158 UU No.13 Tahun 2003 mengatur : 

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :

a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut :

a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).

(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Jadi, jika benar Anda ingin mematuhi peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya dalam memutus atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tentunya harus sesuai dengan ketentuan Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 jo. Keputusan Menaker No. KEP-150/MEN/2000 di atas yakni terlebih dahulu memperoleh penetapan/ persetujuan melakukan PHK dari Dinas Ketenagakerjaan setempat, tentunya dengan memperhatikan kualifikasi kesalahan/ alasan PHK tersebut apakah sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan atau belum. 

Prosedur PHK melalui penetapan/ persetujuan Dinas Ketenagakerjaan sebaiknya tetap Anda tempuh bilamana pada kenyataan Perusahaan sulit atau dipersulit karena adanya aksi solidaritas dari para pekerja/ serikat pekerja maka  guna "memecah" solidaritas dari serikat pekerja yang mungkin simpatik dengan si A sekaligus juga menunjukkan kepada serikat pekerja bahwasanya PHK tersebut telah memenuhi prosedur hukum yang berlaku. 

Terkait dengan pesangon, Pasal 156 UU No. 13/ 2003 menyatakan :

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut :

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima)bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulanupah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga)bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4(empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5(lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas)tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluhempat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : 

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimanapekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Pasal 157 UU No. 13/2003 ditegaskan:

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas :

a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.

(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.

(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.

(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.

Berdasarkan ketentuan Pasal 156 Jo. Pasal 157 UU No. 13 Tahun 2003 disesuaikan dengan uraian Anda, maka didapat rumus dasar penghitungan uang pesangon si A adalah :

Gapok : 1.414.163a) 

a)  uang pesangon (Pasal 156 ayat (2) huruf i) :                                   9 bulan gaji
b)  uang penghargaan masa kerja (Pasal 156 ayat (3) huruf  :              4 bulan gaji
c) uang penggantian hak (Pasal 156 ayat (4) huruf c) :                       15 % X 13 bulan gaji (a+b)                                                                                       

Jumlah : 

a.   Rp. 12.727.467
b.   Rp.  5.656.652
c. Rp. 2.757.618
--------------------------- +
Total = Rp 21.141.737, - (tanpa potongan pajak penghasilan)

Terkait pertanyaan, apakah jumlah pesangon harus 2 X PMTK, kiranya dapat dipahami bahwasanya yang dimaksud PMTK tersebut adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-150/MEN/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan. 

Dalam beberapa ketentuan yang diatur dalam PMTK memang disyaratkan adanya pemberian pesangon dua kali lipat (2 X) dari nilai pesangon yang ditetapkan NAMUN HAL ITU HANYA UNTUK DAN DALAM KONDISI-KONDISI TERTENTU, seperti : 

a) PHK perorangan bukan karena kesalahan pekerja tetapi pekerja dapat menerima putusan PHK tersebut (Pasal 27 ayat (1) PMTK), 

b) PHK massal karena perusahaan tutup atau karena perusahaan melakukan efisiensi (Pasal 27 ayat (3) PMTK),

c) PHK karena perubahan status atau perubahan pemilikan perusahaan sebagian atau seluruhnya atau perusahaan pindah lokasi dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya dengan alasan apapun (Pasal 28 ayat (2) PMTK), 

d) Dalam hal perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama tidak mengatur jaminan atau manfaat pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja yang putus hubungan kerjanya uang pesangon sebesar 2 (dua) kali (Pasal 31 ayat (2) PMTK), 

e) PHK karena meninggal dunia (Pasal 32 PMTK). 

Oleh karena dalam hal ini Anda merupakan Investor yang akan mengambil alih perusahaan dimana A bekerja, asumsi saya penghitungan pesangon yang dilakukan pihak HRD benar adanya yakni Rp 21.141.737 X 2 = Rp. 42.283.474 (sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) PMTK)

Komentar

Postingan Populer